KUKAR, LINGKARKALTIM: Kepala Desa Long Beleh Haloq, Johansyah, menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kantor DPRD Kukar pada Senin (22/9/2025). RDP tersebut membahas sengketa lahan antara masyarakat dengan PT. Madani Citra Mandiri (MCM) yang belakangan memicu keresahan di tingkat desa.
Dalam forum itu, Johansyah menegaskan posisinya sebagai pemimpin desa yang menjaga kepentingan masyarakat, sekaligus berupaya tetap membuka ruang komunikasi dengan pihak perusahaan. Ia menyebut bahwa persoalan yang muncul saat ini bukan hanya terkait lahan, tetapi juga soal kewajiban perusahaan dalam penyaluran program Corporate Social Responsibility (CSR) dan kontribusi lainnya.
“Selama ini kalau program CSR perusahaan berjalan baik, kami di desa tentu akan mendukung. Tapi ketika ada masalah, kami pasti akan bersuara,” tegasnya.
Johansyah juga mengungkapkan bahwa masyarakat Long Beleh Haloq sebelumnya telah menyepakati adanya kontribusi sebesar Rp1.000 per metrik ton dari perusahaan untuk dikelola desa. Namun, berdasarkan musyawarah internal, dana tersebut lebih banyak diarahkan langsung untuk kepentingan masyarakat.
“Kalau bicara aturan, sebenarnya desa berhak mengelola dana Rp1.000 itu. Tapi karena masyarakat punya kebutuhan, akhirnya kita putuskan dibagi saja agar langsung dirasakan warga,” jelasnya.
Meski demikian, Johansyah menilai perlunya transparansi dan kejelasan data agar diskusi dengan pihak perusahaan tidak hanya berujung pada perdebatan. Ia berharap pertemuan lanjutan menghadirkan pihak MCM sehingga semua pihak memiliki landasan yang jelas dalam menyampaikan argumentasi.
“Jangan sampai kita bicara tanpa data. Perusahaan pasti punya data lengkap, dan kita juga harus punya bahan saat berdiskusi di ruang publik,” ucapnya.
Selain soal dana CSR, Johansyah juga menyoroti adanya kelompok-kelompok masyarakat lain yang ingin memperjuangkan haknya di wilayah konsesi perusahaan. Ia menekankan pentingnya legalitas kelompok agar aspirasi yang disampaikan dapat diterima secara sah.
“Kalau mau beraktivitas di wilayah izin perusahaan, entah itu tambang, HTI, atau perkebunan, kelompok harus melengkapi legalitas. Itu penting sebagai bahan diskusi,” ujarnya.
Isu lain yang juga mencuat adalah soal keberadaan Satgas Penanganan Konflik Horizontal (PKH) di lapangan. Johansyah meminta agar setiap pemasangan tanda atau plang di wilayah masyarakat tetap melalui komunikasi dengan warga, bukan dilakukan secara sepihak.
“Kalau ada petugas mau pasang plang di kebun atau wilayah masyarakat, harus izin dulu. Jangan tiba-tiba pasang. Kalau tidak, masyarakat bisa mencabutnya. Beda cerita kalau plang dipasang di kawasan perusahaan, itu hak mereka,” tegasnya.
Di akhir penyampaiannya, Johansyah mengajak semua pihak untuk mencari solusi yang adil tanpa merugikan masyarakat maupun perusahaan. Ia menegaskan bahwa pemerintah desa berkomitmen menjaga keamanan dan ketertiban, namun tetap memperjuangkan hak-hak warga.
“Yang penting perusahaan juga membuka ruang, agar masyarakat bisa ikut merasakan manfaat. Kita ingin semuanya berjalan baik tanpa menimbulkan konflik berkepanjangan,” tandasnya. (WAN/ADV)